Wahai Sang Holik, inilah HambaMu...
Inilah HambaMU yang sedang membutuhkan kesembuhan...
Mungkin Engkau saat ini mendengar keluh kesahku ini, mungkin saat ini Kau mengerti keadaanku ini..
Hanya Kamu lah yang Maha Mengetahui segala yang ada di duniaMu ini termasuk para Hamba-hambaMu ini khusunya HambaMu ini yang sedang kesakitan...
Tuhan, Diam bagi HambaMu ini bukan berarti luka HambaMu ini sembuh...
Tuhan, Diam bagi HambaMu ini bukan berarti HambaMu ini baik-baik saja...
Tuhan, Diam HambaMu disini adalah menantikan pertolonganMu...
Tuhan, Diam HambaMu disini adalah menantikan Engkau mengirim UtusanMu...
Disinilah HambaMu menanti kesembuhan itu...
Disinilah HambaMu bersabar dan berharap uluran tangan dari UtusanMu...
Wahai langit dan Bumi, tidak maukah engkau menggiring Utusan Tuhan kehadapanku ?
Ya Tuhan, jangan biarkan langit dan bumi yang bisu di hadapan HambaMu ini bisu juga di Hadapan Sang Maha Penciptanya....
Tuhan, Lukaku Belum Sembuh dan Masih terasa sakit...
Sedikit Puisi dari saya, mudah-mudahan dapat membuka mata kita terhadap lingkungan yang ada disekitar kita tentang masih adanya orang-orang yang sedang membutuhkan pertolongan kita. Saya berkeinganan untuk para pembaca situs ini mengerti betul akan hal-hal di dunia ini, tentang pertolongan terhadap orang yang membutuhkan merupakan sesuatu yang tidak dapat dinilai harganya, tentu saja pertolongan yang telah kita berikan memiliki nilai dan derajat yang tinggi yang tidak bisa diukur oleh materi ataupun yang lainnya.
Disini saya akan memaparkan sebuah artikel dengan judul “Luka yang tak Kunjung Sembuh”, artikel ini saya tulis sendiri dengan melakukan pengamatan terlebih dahulu terhadap lingkungan yang telah saya amati. Mudah-mudahan artikel yang saya tulis ini bisa membuat para pembaca yang budiman ini bisa merasakan manfaat dari arti sebuah ketulusan dalam memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan.
“Luka yang tak Kunjung Sembuh”
Hari demi hari yang telah dilalui sangat tidak terasa. Waktu pun berjalan sangat cepat. Tidak pernah terasa, malam datang dan pergi bergantian dengan siang yang mewarnai pagi. Namun entah mengapa ? Siang hari yang datang tidak pernah bisa aku lewatkan dengan indahnya. Pada saat siang, justru membuatku ingin cepat-cepat malam. Maunya diriku ini entah apa ? Saat setiap orang menanti-nantikan datang pagi diriku malah ingin cepat digantikan malam. Oh, inikah diriku ? Alasannya mungkin sangat tidak masuk akal, tapi bagi diriku ini adalah suatu hal yang wajar.
Siang pun selalu aku lewati dengan segala keluh kesah. Pedih, perih, sakit pun dimana-mana aku rasakan. Sekujur tubuhku sepertinya sudah dipenuhi segala luka-luka yang ada, luka lamapun belum sembuh, tapi makin hari makin bertambah luka baru di sekujur tubuhku. Ohhh, inikah nasibku ? Segalanya aku lewati dengan penuh rasa sakit dan sakit. Perih dan pedih sekali diriku ini, Jiwakupun mulai jenuh menahan rasa sakit yang tidak jarang membuat tubuhku ini berguling di tanah. Senin, Selasa dan Rabu adalah hari yang selalu aku ingat dalam pikiranku, alasannya karena di tiga hari itu, aku pernah merasakan mati rasa di sekujur tubuhku. Bukan hanya itu, yang bisa aku ingat kembali adalah April. April adalah bulan dimana aku merasakan 30 hari penuh tertidur tapi tidak mati. Memori itu yang selalu aku ingat di siang hari, rasa sakit itu yang selalu aku rasakan di setiap pagi. Oh andai saja luka-luka ini sembuh dalam waktu sehari. Namun, itu sungguh tidak wajar secara logika, karena sakitku tidak pernah ada yang tau, lukaku tidak pernah ada yang tau, kenapanya diriku tak pernah ada seorang pun bertanya. Lalu, kenapa aku ini tanya diriku ?
Siang aku rasakan bagai ruang tanpa kapasitas yang tersedia untukku. Aku sepertinya tidak pernah memiliki ruang di siang hari. Aku ditendang, sedangkan aku sedang terluka, aku di dorong hingga terjatuh ke tanah sedangkan baru saja mendapatkan luka baru, aku dihina padahal jiwaku sudah tidak mau menerima keluh kesah tubuh ini akan cacian dan makian yang membuat luka baru dan membuat luka lama semakin parah. Meraka pikir aku terima akan hal itu ? Saya jawab, TIDAK. Lukaku tak pernah kunjung sembuh, karena mereka yang tidak pernah melihat ke bawah yang membuat lukaku tak pernah sembuh. Siapakah aku bagi diri mereka ? Kalau ada ruang bagi diriku, aku ingin berkata pada mereka.
“Aku bukan orang yang ingin selalu terluka, aku ingin sembuhkan luka, tolonglah aku, karena aku adalah dirimu juga, karena aku bagian dari kehidupanmu juga”
Rasanya siang hariku akan aku lalui begitu panjang, padahal aku benci siang hari. Melihat keinginanku yang ingin bertemu mereka yang di atas sana akan memperpanjang hari-hari di siang hariku yang sungguh aku benci. Sudahlah, siang hariku pasti berlalu, dan aku sudah tidak ingin lagi menambah luka goresan di sekujur tubuhku yang telah penuh dengan luka. Baiknya, aku DIAM.
Wahai mentari, engkau telah pindah menyinari belahan bumi lainnya dan kini kau biarkan aku dipayungi rembulan. Oh, inilah malaku telah datang. Inilah yang aku rindukan. Malam hari, waktunyaku untuk membasuh luka, waktunyaku untuk mengelus dada. Kriik kriik jangkrik di sekitarku menambah suasana kesakitan jiwa ragaku. Semakin kencang suara jangkrik, semakin ingat waktu aku ditendang, semakin samar suara jangkrik semakin membawaku pada aroma tanah yang aku cium saat itu juga dan aku rasakan sama saat aku tersungkur setelah ku ditendang. Sakit, pedih dan perih. Aku rasakan kembali saat aku mengingatnya di malam hari ini. Rasanya pun sama, sakitnya pun sama, perih dan pedihnya pun sama. Namun, setidaknya di malam hari ini lukaku tidak bertambah. Yaa mungkin inilah malam hari yang aku rindukan, karena di malam hari aku tidak pernah menerima luka baru dari mereka.
Malam semakin larut, tengah malam selalu aku terbangun, berselimutkan angin malam dan bertikarkan lantai yang berdebu serta dengan penerangan cahaya kunang-kunang dan bintang-bintang aku membuka mata, walau tubuhku DIAM. Hatiku yang jenuh ini selalu membukakan mataku. Hatiku ini menyuruh diriku untuk berpikir. Namun saat berpikir, dua bayang-bayang melintas di hadapanku. Entah apa ? Semakin kuat aku berpikir, semakin jelas yang terlihat. Apa yang ada di hadapanku ? Aku tidak pernah tau itu. Namun, saat sejenak aku menutup mata dan kembali membuka mata, aku telah tersungkur ke tanah yang becek, tersungkur dan mencium tumpukan sisa sayuran yang busuk. Terbangun dan melihat baik-baik lagi pada bayangan tadi, ternyata mereka adalah yang berada di atas. Mereka adalah yang punya kios, dan mungkin marah kepada saya karena telah tertidur di samping kiosnya. Yah, beginilah hidup di malam hariku. Selalu saja bersahabat dengan tanah. Sedikit-sedikit mencium tanah, sedikit-sedikit tersungkur ke tanah. Tapi, yaaaa saya DIAM saja, karena yang aku tau, manusia akan kembali ke tanah.
Sepertinya aku harus berpindah tempat, dan disaat langkahk kakiku, aku mendengar gemericik air. Tak ambil waktu, dengan sendirinya aku mendekat. Lalu aku basuh muka ini, aku bersihkan badan ini. Setelah aku rasa cukup membersihkan diri, aku lanjutkan perjalanan ku. Sepertinya malam itu masih dini hari, tapi aku tidak pernah berhenti melangkahkan kaki. Terus berjalan, walau harus masuk hutan. Terus aku pacu diriku walau aku tak pernah tau arah. Hanya dorongan kepedihan dan kesakitan jiwa ini yang membuatku harus terus langkahkan kaki demi mendapatkan posisiku, demi menghindari mereka yang telah memberiku luka. Ya, sampailah aku disebuah desa yang tak pernah aku ketahui sebelumnya.